Pakar IT Ungkap 3 Sumber Masalah Sirekap KPU

Sidang pemeriksaan terkait Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (PHPU Presiden) Tahun 2024 kembali berlangsung di Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta. Sidang ini mengagendakan untuk mendengarkan keterangan saksi dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).

Munculnya isu mengenai sistem penghitungan suara digital dalam pemilu bukanlah hal baru. Sejak 2004, ketika teknologi komputer digunakan untuk pertama kalinya, banyak pihak meragukan keakuratan dan transparansi sistem tersebut. Pertanyaan penting muncul: Seberapa efektifkah sistem ini dalam menjamin hasil pemilu yang adil?

Analisis Sinar Digital dalam Pemungutan Suara Kehadiran teknologi dalam pemungutan suara mengundang perhatian banyak ahli. Salah satu dari mereka adalah seorang ahli di bidang IT yang menjelaskan bahwa sistem penghitungan suara, meskipun mengalami kemajuan, tetap memiliki tantangan tersendiri. Misalnya, penggunaan aplikasi sirekap yang diperkenalkan untuk mentransfer hasil pemungutan suara dari form C1 ke sistem online. Proses ini dianggap lebih efisien, tetapi kenyataan sering kali berbeda.

Marsudi Wahyu Kisworo, seorang pakar IT, menekankan bahwa penggunaan teknologi Optical Character Recognition (OCR) dalam mengonversi tulisan tangan ke angka tidak sepenuhnya akurat. Hal ini mengarah pada potensi kesalahan di lapangan yang bisa mengubah hasil pemungutan suara. Data menunjukkan bahwa akurasi sistem OCR selalu mengalami penurunan ketika diterapkan di lapangan, di mana kualitas gambar dapat bervariasi, tergantung pada kemampuan kamera dan kondisi penulisan form C1.

Tantangan dalam Implementasi Sirekap dan Solusinya Berbicara mengenai tantangan yang dihadapi, ada tiga masalah utama yang diidentifikasi dalam sistem sirekap. Permasalahan pertama adalah tidak konsistennya tulisan tangan yang di-scan. Tentu saja, setiap orang memiliki gaya tulisan yang berbeda, yang bisa berakibat pada kesalahan pemrosesan data. Keberagaman bentuk angka juga menambah tantangan, di mana satu angka bisa ditulis dengan berbagai cara yang memengaruhi pengolahan data.

Kemudian, masalah kedua terletak pada kualitas kamera yang digunakan di berbagai handphone. Berbagai merek dengan spesifikasi yang berbeda menghasilkan kualitas gambar yang beragam. Terakhir, kesalahan interpretasi yang muncul karena form C1 yang terlipat dapat memperburuk situasi. Solusi yang diusulkan oleh banyak ahli adalah perlunya verifikasi data secara menyeluruh sebelum hasilnya dipublikasikan.

Tantangan tersebut menggambarkan betapa pentingnya untuk mengkaji kualitas teknologi yang digunakan dalam proses pemilu. Marsudi juga menggarisbawahi bahwa meski teknologi OCR sudah cukup maju, ia tetap tidak sempurna. Karenanya, verifikasi sebelum pemunggutan suara ditampilkan secara publik adalah langkah yang krusial dalam menjaga integritas pemilu.

Dari perspektif keamanan, pihak KPU juga ditegaskan untuk memberikan edukasi mengenai proses dan mekanisme penghitungan suara yang transparan agar semua pihak paham mengenai tantangan yang ada dan hasil yang sah adalah hasil berjenjang yang diakui. Dalam proses tersebut, terdapat pula perhatian terhadap kerentanan software yang bisa dieksploitasi, sehingga upaya perbaikan dan mitigasi harus senantiasa dilakukan.